Monday 24 December 2012

Yakin Masuk Surga?


Sebagian umat Islam di antara kita begitu gampangnya meyakini dirinya akan selamat dari adzab Allah, selamat dari ancaman neraka. Ia beralasan sebagai muslim yang mengucapkan syahadat pasti pada akhirnya menuju surga (walau merasa siap dicuci dulu di neraka). Sebagian lagi merasa dirinya telah banyak berbuat baik, telah beribadah dengan baik, maka kalaupun ada dosa-dosa kecil atau besar pasti Allah yang Maha Pengampun akan menghapus dosanya karena sebab kebaikan akhlak atau ibadah yang sudah ia lakukan.

Prinsip tersebut jelas sangat gegabah, karena orang-orang sholeh terdahulu dari generasi Islam terbaik (yaitu generasi shahabat Nabi shalallahu alaihi wasalam, dan sudah dijamin masuk surga) saja masih merasa takut tidak selamat dari adzab Allah. 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seseorang tidak akan masuk surga karena amalannya (semata)”. Sahabat bertanya: “Termasuk engkau, ya Rasulullah?” Beliau Shallallahu ’alaihi wa sallam menjawab: “Termasuk aku, kecuali jika Allah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepadaku”. [HR Bukhâri dan Muslim].

Jadi, sebesar apapun perbuatan baik dan ibadah yang kita lakukan selama di dunia tidak akan mampu ditukar untuk membeli kenikmatan surga (bahkan Rasulullah sekalipun). Surga diperoleh semata karena rahmat dan karunia dari Allah kepada orang-orang beramal sholeh. Kita mendapat rahmat karena kita mau beramal sholeh. Jika tidak, maka kita termasuk orang yang tidak berhak mendapat rahmat Allah. 

Sudah banyak berbuat baik saja belum tentu masuk surga, apalagi kalau menjadi Islam sekedarnya saja. Termasuk manakah prinsip diri kita dalam meyakini perkara keselamatan akhirat ini?

Untuk lebih jelasnya bahasan mengenai prinsip yang salah namun banyak diyakini sebagian besar umat Islam ini maka kami kutipkan tulisan dibawah ini. 

Larangan Merasa Aman dari Adzab Allah

Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu; dia berkata,

“Dosa besar yang paling besar adalah menyekutukan Allah, merasa aman dari makar Allah, putus asa terhadap rahmat Allah, dan putus harapan terhadap kelapangan dari Allah.”

(Hadis hasan sahih; diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir; lihat Majma’ Az-Zawaid, juz 1, hlm. 104; kutip dari muslimah.or.id)

Ancaman Allah terhadap mereka yang merasa aman dari adzabNya

Allah berfirman:

“Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur?” (Qs. Al-A’raf: 97)

Allah berfirman:

“Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain?” (Qs. Al-A’raf: 98)

Allah berfirman:

“Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (Qs. Al-A’raf: 99)

Tafsir mufassiriin tentang ayat-ayat diatas

Ibnu Katsir rahimahullahu berkata, “Allah berfirman mengabarkan betapa sedikitnya keimanan para penduduk negeri yang menjadi tempat diutusnya para rasul. Sebagaimana firman Allah,

“Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman lalu imannya itu bermanfaat kepadanya, selain kaum Yunus? Tatkala mereka (kaum Yunus itu) beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka hingga waktu tertentu.’ (Qs. Yunus: 98)” (Tafsir Ibnu Katsir, juz 3, hlm. 450)

Syekh As-Sa’di menjelaskan tafsir surat Al-A’raf:96—99 ini secara terperinci, dalam Taisir Karimir Rahman, hlm. 298. Mari kita renungi bersama.

“Ketika Allah Ta’ala menyebutkan bahwa orang yang mendustakan para rasul diuji dengan kemalangan, (musibah) itu merupakan nasihat sekaligus peringatan; mereka diuji dengan kesenangan sebagai istidraj dan makar (dari Allah). Disebutkan bahwa seandainya para penduduk negeri tersebut menyimpan iman dalam hati mereka dengan penuh kejujuran, niscaya amal perbuatan mereka akan membenarkan (baca: membuktikan) kejujuran tersebut.

Allah juga menumbuhkan – untuk mereka – segala tetumbuhan dari bumi yang menjadi sumber penghasilan mereka dan menjadi sumber pakan hewan ternak mereka. Dalam tanah yang subur terdapat mata pencaharian, dalam keberlimpahan terdapat rezeki, tanpa perlu merasakan kesusahan dan keletihan, tanpa perlu bekerja keras dan tanpa mengalami kepayahan. Meski demikian, mereka tidak beriman dan tidak bertakwa.

“… Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.’ (Qs. Al-A’raf: 96)

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut, yang disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah membuat mereka merasakan sebagian (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).’ (Q.s. Ar-Rum:41).”

Selain penjelasan tersebut, Syekh As-Sa’di juga menyebutkan tafsir untuk beberapa penggalan dari surat Al-A’raf, ayat 96—99,

• “Tidakkah penduduk negeri itu beriman“;

yang dimaksud (“penduduk negeri” dalam ayat tersebut) adalah ‘ para pendusta’, berdasarkan indikasi rangkaian kata (setelahnya) “akan datangnya siksa dari Kami“, yaitu ‘azab yang pedih’;

• “Di malam hari, saat mereka sedang tidur“

yaitu ‘saat mereka lengah, terpedaya, dan sedang beristirahat’;

• “Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain?”

maksudnya ‘apa gerangan hal yang membuat mereka merasa aman, padahal mereka telah melakukan berbagai faktor penyebab yang bisa mendatangkan bencana itu; mereka telah melakukan dosa-dosa yang sangat buruk, sehingga bagaimana mungkin mereka tidak diganjar dengan kebinasaan setelahnya?’;

• “Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)?”

maksudnya ‘ketika mereka dilenakan dari arah yang tidak mereka duga, dan Allah menyiksa mereka; sesungguhnya, tipu daya Allah begitu kuat’;

• “Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi”,

maksudnya ‘maka sesungguhnya, orang yang merasa aman dari makar Allah adalah orang yang tidak membenarkan adanya balasan atas amalan yang telah dikerjakan. Dia juga tidak beriman dengan penuh kesungguhan kepada para rasul. Ayat yang mula ini menakut-nakuti secara umum, agar hendaknya para hamba tidak merasa aman dengan keimanan yang dimilikinya.

Akan tetapi, mereka senantiasa takut dan khawatir jika dirinya didera ujian yang dapat memberangus imannya. Juga, hendaklah dia senantiasa berdoa dengan mengatakan, ‘Wahai Dzat yang membolak-balik hati, tetapkanlah hatiku di atas agamamu,’ serta hendaknya dia beramal dan berusaha dengan menempuh setiap sebab yang memungkinkan dirinya terbebas dari keburukan ketika datangnya fitnah (ujian). Oleh karena itu, seorang hamba –walau dia telah sampai pada kondisi (keimanan)-nya saat ini– tak ada kepastian bahwa dia akan selamat.

Apa itu “makar Allah”?

Syekh Khalil Harras, dalam Syarh Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah, hlm. 265, menguraikan,

“Sebagian salaf menafsirkan ‘makar Allah kepada hamba-Nya’ dengan arti ‘melenakan mereka (istidraj) dengan berbagai nikmat sedangkan mereka tidak mengetahui (bahwa ada azab yang menanti mereka, pen.)’. Setiap kali mereka berbuat dosa, Allah melimpahkan nikmat bagi mereka.

Dalam hadis disebutkan,

“Jika engkau melihat Allah memberi kepada hamba-Nya nikmat dunia yang dicintai jiwanya, padahal dia senantiasa bermaksiat, maka ketahuilah bahwa itu merupakan istidraj.’

(Hr. Ahmad, Ibnu Juraij, Ath-Thabrani, dan Ibnu Abi Hatim; diriwayatkan dari shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu; hadis hasan; lihat Kanzul ‘Ammal, juz 11, hlm. 90; kutip dari muslimah.or.id).”

Wasiat Rasuulullaah untuk menjauhi dosa besar dan tidak meremehkan dosa-dosa kecil

Rasuulullaah shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

“Jauhilah kalian tujuh dosa besar; syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan harta anak yatim, memakan harta riba, lari dari medan perang, menuduh berzina terhadap wanita yang suci.” (Muttafaqun alaih)

Rasuulullaah shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

“Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang dosa-dosa besar yang paling besar?” (Beliau mengulanginya tiga kali.)

Mereka (para Sahabat) menjawab: “Tentu saja, wahai Ra-sulullah.”

Beliau bersabda: “Syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua.”

(perawi berkata) -Ketika itu beliau bersandar lalu beliau duduk tegak seraya bersabda:-

“Dan ingatlah, (yang ketiga) perkataan dusta!”

Perawi berkata: “Beliau terus meng-ulanginya hingga kami berharap beliau diam.”

(HR Bukhaariy, Muslim dan selainnya)

Dan hadits-hadits semisalnya.

Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam:

“Sesungguhnya orang mukmin melihat dosa-dosanya seperti ia duduk di pangkal gunung, ia khawatir gunung itu akan menimpanya, sedangkan orang fajir (selalu berbuat dosa) melihat dosa-dosanya seperti lalat yang menempel di batang hidungnya, kemudian ia mengusirnya seperti ini* lalu terbang.”

*Abu Syihab (salah satu perawi hadits) mengisyaratkan dengan tangannya di atas hidungnya.

(HR. Bukhariy)

Ibnu Abi Jamrah rahimahullâh berkata,

“Sebabnya adalah, karena hati seorang Mukmin itu diberi cahaya. Apabila dia melihat pada dirinya ada sesuatu yang menyelisihi hatinya yang diberi cahaya, maka hal itu menjadi berat baginya. Hikmah perumpamaan dengan gunung yaitu apabila musibah yang menimpa manusia itu selain runtuhnya gunung, maka masih ada kemungkinan mereka selamat dari musibah-musibah itu. Lain halnya dengan gunung, jika gunung runtuh dan menimpa seseorang, umumnya dia tidak akan selamat. Kesimpulannya bahwa rasa takut seorang Mukmin (kepada siksa Allâh Ta’ala -pen) itu mendominasinya, karena kekuatan imannya menyebabkan dia tidak merasa aman dari hukuman itu. Inilah keadaan seorang Mukmin, dia selalu takut (kepada siksa Allâh-pen) dan bermurâqabah (mengawasi Allâh). Dia menganggap kecil amal shalihnya dan khawatir terhadap amal buruknya yang kecil”.

(Tuhfatul Ahwadzi, no. 2497; kutip dari majalah as-sunnah)

Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda kepada Ummul Mukminin ‘Aa-isyah radhiyallåhu ‘anha:

“Wahai Aisyah, takutlah engkau terhadap dosa-dosa kecil, karena ia akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah.”

(HR. Ahmad, ad-Darimiy, dll; dishahiihkan Syaikh al Albaaniy dalam ash shahiihah)

Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda

“Berhati-hatilah kalian terhadap dosa kecil, sebab jika ia berkumpul dalam diri seseorang akan dapat membinasakannya.”

(HR ahmad dan Thabrani dalam Al Awsath; dalam sanad kedua riwayat ini ada Imran bin Dawir Al Qaththan; namun dia dapat dipercaya, demikian kata Imam Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid 10/192)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Aku benar-benar melihat diantara umatku pada hari Kiamat nanti, ada yang datang dengan membawa kebaikan sebesar gunung di Tihamah yang putih, lalu Allah menjadikannya seperti kapas berterbangan…

Tsauban bertanya, Ya Rasulullah, jelaskan kepada kami siapa mereka itu agar kami tidak seperti mereka sementara kami tidak mengetahui!

Beliau bersabda,

Mereka adalah saudara-saudara kalian dan sebangsa dengan kalian, mereka juga bangun malam seperti kalian, akan tetapi apabila mendapat kesempatan untuk berbuat dosa, mereka melakukannya.

(HR. Ibnu Majah, disahihkan oleh Syaikh Al-Bany dalam Silsilatul Ahaadits Shahihah No,505)

Teladan para shahabat yang senantiasa merasa takut akan adzabNya

Ibnu Mulaikah rahimahullahu berkata: “Aku mendapati tiga puluh orang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya mengkhawatirkan kemunafikan atas dirinya.”

Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu sampai bertanya kepada Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, apakah dirinya termasuk yang disebut oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang munafik.

Suatu ketika shahabat Anas Radhiallaahu ‘anhu pernah berkata kepada sebagian tabi’in: “Sesungguhnya kalian semua melakukan suatu perbuatan yang kalian pandang lebih kecil dari pada biji gandum padahal di masa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam kami menganggapnya sebagai sesuatu yang dapat membinasakan. “ (Al Bukhari).

Berkata al Hasan al Bashriy: “Demi Allah ‘Azza wa Jalla, sungguh! Andai saja salah seorang dari kalian mendapati salah seorang dari generasi pertama umat ini sebagaimana yang telah aku dapati, serta melihat salah seorang dari Salafus Shalih sebagaimana yang telah aku lihat, niscaya di pagi hari dia dalam keadaan bersedih hati dan pada sore harinya dalam keadaan berduka. Dia pasti mengetahui bahwa orang yang bersungguh-sungguh dari kalangan kalian hanya serupa dengan orang yang bermain-main di antara mereka. Dan seseorang yang rajin dari kalangan kalian hanya serupa dengan orang yang suka meninggalkan di antara mereka.”

Di sini bukan berarti Anas mengatakan bahwa dosa besar dimasa Rasulullah dihitung sebagai dosa kecil setelah beliau wafat, namun itu semata-mata karena pengetahuan para shahabat akan keagungan Allah yang lebih sempurna. Makanya dosa kecil bagi mereka-jika sudah dikaitkan dengan kebesaran Allah- akan menjadi sangat besar. Dan dengan sebab ini pula maka suatu dosa akan dipandang lebih besar jika dilakukan orang alim dibandingkan jika pelakunya orang jahil, bahkan bagi orang awam boleh jadi suatu dosa dibiarkan begitu saja (dimaklumi) karena ketidaktahuannya yang mana itu tentu tidak berlaku bagi orang alim dan arif. Atau dengan kata lain bahwa besar kecilnya suatu dosa sangat berkaitan erat dengan tingkat pengetahuan dan keilmuan pelakunya

(ithaf as-sa’adah al-muttaqin 10/690).

Tapi meski bagaimanapun seseorang seharusnya dituntut untuk menganggap besar suatu dosa, sebab jika tidak demikian maka tidak akan lahir rasa penyesalan. Adapun jika menganggap besar atas suatu dosa maka ketika melakukannya akan disertai dengan rasa sesal. Ibarat orang yang menganggap uang receh tak bernilai, maka ketika kehilangan ia tak akan bersedih dan menyesalinya. Namun ketika yang hilang adalah dinar (koin emas) maka tentu ia akan sangat menyesal dan kehilangannya merupakan masalah yang besar.

(Sumber: Al-’Ibadat Al-Qalbiyah, Dr. Muhammad bin Hasan bin Uqail Musa Asy-Syarif, http://ibnujafar86.wordpress.com/2009/05/12/jangan-sepelekan-dosa-kecil/)

Sebagian ulama menyatakan: “Tidak ada yang takut dari kemunafikan kecuali mukmin, dan tidak ada yang merasa aman darinya kecuali munafik.” (dibawakan oleh Al-Bukhari rahimahullahu dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu)

Al-Imam Ahmad rahimahullahu ditanya, “Apa pendapatmu tentang orang yang mengkhawatirkan atas dirinya kemunafikan?” Beliau menjawab, “Siapa yang merasa dirinya aman dari kemunafikan?” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam)

Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: “Sebagian orang mengira kemunafikan hanyalah ada di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, tidak ada kemunafikan setelah zaman beliau. Ini adalah prasangka yang salah. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Kemunafikan pada zaman ini lebih dahsyat dari kemunafikan di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Mereka berkata: ‘Bagaimana (bisa dikatakan demikian)?’ Beliau menjawab: ‘Orang-orang munafik di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan kemunafikan mereka. Adapun sekarang, mereka (berani) menampakkan kemunafikan mereka’.”

Ibnu Rajab rahimahullahu berkata: “Kemunafikan asghar adalah jalan menuju kemunafikan akbar, sebagaimana maksiat adalah lorong menuju kekufuran. Sebagaimana orang yang terus-menerus di atas maksiat dikhawatirkan dicabut keimanannya ketika menjelang mati, demikian juga orang yang terus-menerus di atas kemunafikan asghar dikhawatirkan dicabut darinya keimanan dan menjadi munafik tulen.” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam)

Pelajaran (Hikmah Yang Dapat Diambil)

1. Termasuk dosa besar: merasa aman dari adzab Allah

2. Barangsiapa yang terus menerus dalam kemaksiatan kepada Allah, sementara ia berada dalam hidup yang enak; maka ini adalah tanda istidraaj Allah padanya.

3. Dosa besar, adalah sesuatu yang membinasakan pelakunya (khususnya syirik akbar dan kufur akbar) yang hendaknya dijauhi oleh setiap hamba dengan sejauh-jauhnya, dengan menjauhi pula sebab-sebab yang menghantarkan kita kepadanya.

4. Larangan meremehkan dosa-dosa kecil.

5. Dosa kecil apabila terkumpul dalam diri seorang hamba akan membinasakannya.

6. Seorang yang LURUS KEIMANANnya tidaklah melihat besar-kecilnya dosa, tapi ia melihat pada siapakah yang ia sedang durhakai.

7. Takutnya seorang mukmin terhadap dosa-dosa seharusnya sebagaimana takutnya ia tertimpa gunung.

8. Hendaknya seseorang mengingat akan dahsyatnya SAKRATUL MAWT, dahsyatnya FITNAH KUBUR, dahsyatnya hisab di PADANG MASYHAR, dahsyatnya ketika MELINTASI SHIRATH, dan dahsyatnya API NERAKA.

9. Peremehan dosa akan berakibat DIHAPUSNYA AMAL KEBAIKAN, meskipun kebaikannya seperti sebesar GUNUNG. Hal ini menandakan BETAPA AGUNG-nya Allah, yang mana Dia Cemburu terhadap hambaNya yang melakukan kedurhakaan terhadapNya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, yaitu ketika Sa’d bin Ubadah berkata,

“Kalaulah kulihat seorang laki-laki bersama isteriku, niscaya aku penggal dia dengan pedang di bagian mata pedangnya, bukan dengan pinggirnya.”

Berita ini kemudian terdengar oleh Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam, sehingga beliau bersabda:

“Adakah kalian merasa heran dengan kecemburuan Sa’d? Demi Allah, sungguh aku lebih cemburu daripada dia, dan Allah lebih cemburu daripada aku.

dan karena kecemburuan Allah itulah Allah mengharamkan segala kejahatan baik yang nampak maupun yang tersembunyi

(HR Bukhariy)

Dalam riwayat lain:

“Tidak ada yang lebih cemburu melebihi Allah. Karena itulah, Dia mengharamkan kekejian…”

(HR Bukhariy)

10. Teladan para shahabat yang AMAT DALAM ILMU-nya tentang Allah subhaanahu wa ta’ala.

11. Keutamaan para shahabat diatas tabi’iin

12. Kemunafikan (i’tiqadiy, maupun ‘amaliy) akan senantiasa ada hingga akhir zaman.

13. Salah satu tanda keimanan yang ada dalam hati adalah merasa takut dari adzab Allah, dan salah satu tanda merasuknya kemunafiqan dalam hati adalah ketika kita merasa aman dari adzab Allah.

14. Jika seseorang terlalu menggantungkan pada luasnya rahmat Allah, ampunan Allah yang berlimpah, dan melupakan bahwa Allah Maha Mengetahui lagi Maha pedih adzabNya, maka ia akan bermudah-mudahan (dalam berbuat maksiat). Ia akan merasa aman dari makar (istidraj dan adzab) Allah, dan barangsiapa yang jatuh kepada “merasa aman dari adzabNya”, maka ia akan menganggap remeh perbuatan dosa, sehingga jatuhlah ia kedalamnya.

15. Seseorang dapat terjatuh dalam “merasa aman dari adzab Allah”, ketika ia merasa takjub/UJUB dengan amal-amalnya, ia merasa telah banyak beramal shalih (padahal apa yang ia lakukan tersebut BELUM TENTU diterima Allah), atau ia merasa telah mengamalkan amalan penghapus dosa, sehingga ia merasa telah diampuni dosanya oleh Allah (padahal dia sendiri tidak bisa menjamin, apakah Allah telah mengampuninya atau tidak?!).

Sehingga ketika ia merasa telah beramal shalih, merasa telah suci dari dosa-dosa; maka kemudian bathinnya berkata: “ah.. nggak apa-apa sekali ini bermaksiat”

Yaa subhaanallaah!! Tidakkah ia tahu ORANG BERILMU adalah orang-orang YANG TAKUT KEPADA ALLAH?! Tidakkah ia sadar dengan anggapannya tersebut menunjukkan KEBODOHAN yang ada dalam dirinya?! Tidakkah ia tahu akan hadits diatas yang mana Allah menghapus kebaikan SESEORANG yang SANGAT BANYAK hanya karena ia senantiasa bermaksiat ketika mendapatkan kesempatan!? Tidakkah ia menyadari bisa saja Allah mencabut nyawanya ketika ia sedang bermaksiat kepadaNya?! Apakah ia menjamin kelak akan diberi kehidupan? Jika ia tidak bisa menjamin, mengapa ia menyengajakan untuk bermaksiat?! inilah bukti LEMAH-nya IIMAAN seseorang, dikarenakan LALAI-nya HATInya dari mengingat Allah, LALAI-nya hatinya dari mengingat kematian yang bisa datang kapan saja, LALAI-nya HATInya dari mengingat apa-apa yang akan terjadi setelah kematian!!

dari ‘Ibnu ‘Umar bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata dalam do’anya,

“Ya Allah, anugerahkan kepada kami rasa takut kepada-Mu yang membatasi antara kami dengan perbuatan maksiat kepadamu dan berikanlah (taufiq kepada kami, agar dapat melaksanakan) ketaatan kepada-Mu, yang dapat mengantarkan kami ke surga-Mu dan anugerahkan pula keyakinan (akan balasanMu di akhirat kelak) sehingga akan menyebabkan ringan bagi kami segala musibah di dunia ini.”

[HR. Tirmidzi (3502); An Nasaai dalam 'Amalul Yaum wal Lailah (402); Al Hakim (1/528); Al Baghawi (1374). Dihasankan At Tirmidzi dan al Albaaniy; dari muslim.or.id].

Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita untuk senantiasa mengingatNya, dengan tidak meremehkan dosa-dosa (apalagi dosa besar), dan juga agar tidak bermudah-mudahan dalam perkara makruuh. Aaamiin

Semoga bermanfaat..
Mari ikut #share artikel berikut, agar banyak yang dapat mengambil pelajaran dari ilmu yang sangat bermanfaat ini..
Amiiinn..

Foto: Yakin Masuk Surga?
========================================
Sebagian umat Islam di antara kita begitu gampangnya meyakini dirinya akan selamat dari adzab Allah, selamat dari ancaman neraka. Ia beralasan sebagai muslim yang mengucapkan syahadat pasti pada akhirnya menuju surga (walau merasa siap dicuci dulu di neraka).  Sebagian lagi merasa dirinya telah banyak berbuat baik, telah beribadah dengan baik, maka kalaupun ada dosa-dosa kecil atau besar pasti  Allah yang Maha Pengampun akan menghapus dosanya karena sebab kebaikan akhlak atau ibadah yang sudah ia lakukan.

Prinsip tersebut jelas sangat gegabah, karena orang-orang sholeh terdahulu dari generasi Islam terbaik (yaitu generasi shahabat Nabi shalallahu alaihi wasalam, dan sudah dijamin masuk surga) saja masih merasa takut tidak selamat dari adzab Allah. 


Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seseorang tidak akan masuk surga karena amalannya (semata)”. Sahabat bertanya: “Termasuk engkau, ya Rasulullah?” Beliau Shallallahu ’alaihi wa sallam menjawab: “Termasuk aku, kecuali jika Allah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepadaku”. [HR Bukhâri dan Muslim].

Jadi, sebesar apapun perbuatan baik dan ibadah yang kita lakukan selama di dunia tidak akan mampu ditukar untuk membeli kenikmatan surga  (bahkan Rasulullah sekalipun).  Surga diperoleh semata karena rahmat dan karunia dari Allah kepada orang-orang beramal sholeh. Kita mendapat rahmat karena kita mau beramal sholeh. Jika tidak, maka kita termasuk orang yang tidak berhak mendapat rahmat Allah.  

Sudah banyak berbuat baik saja belum tentu masuk surga, apalagi kalau menjadi Islam sekedarnya saja.  Termasuk manakah prinsip diri kita dalam meyakini perkara keselamatan akhirat ini?

Untuk lebih jelasnya bahasan mengenai prinsip yang salah namun banyak diyakini sebagian besar umat Islam ini maka kami kutipkan tulisan dibawah ini. 

 

Larangan Merasa Aman dari Adzab Allah

Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu; dia berkata,

“Dosa besar yang paling besar adalah menyekutukan Allah, merasa aman dari makar Allah, putus asa terhadap rahmat Allah, dan putus harapan terhadap kelapangan dari Allah.”

(Hadis hasan sahih; diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir; lihat Majma’ Az-Zawaid, juz 1, hlm. 104; kutip dari muslimah.or.id)

Ancaman Allah terhadap mereka yang merasa aman dari adzabNya

Allah berfirman:

“Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur?” (Qs. Al-A’raf: 97)

Allah berfirman:

“Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain?” (Qs. Al-A’raf: 98)

Allah berfirman:

“Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (Qs. Al-A’raf: 99)

Tafsir mufassiriin tentang ayat-ayat diatas

Ibnu Katsir rahimahullahu berkata, “Allah berfirman mengabarkan betapa sedikitnya keimanan para penduduk negeri yang menjadi tempat diutusnya para rasul. Sebagaimana firman Allah,

“Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman lalu imannya itu bermanfaat kepadanya, selain kaum Yunus? Tatkala mereka (kaum Yunus itu) beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka hingga waktu tertentu.’ (Qs. Yunus: 98)” (Tafsir Ibnu Katsir, juz 3, hlm. 450)

Syekh As-Sa’di menjelaskan tafsir surat Al-A’raf:96—99 ini secara terperinci, dalam Taisir Karimir Rahman, hlm. 298. Mari kita renungi bersama.

“Ketika Allah Ta’ala menyebutkan bahwa orang yang mendustakan para rasul diuji dengan kemalangan, (musibah) itu merupakan nasihat sekaligus peringatan; mereka diuji dengan kesenangan sebagai istidraj dan makar (dari Allah). Disebutkan bahwa seandainya para penduduk negeri tersebut menyimpan iman dalam hati mereka dengan penuh kejujuran, niscaya amal perbuatan mereka akan membenarkan (baca: membuktikan) kejujuran tersebut.

Allah juga menumbuhkan – untuk mereka – segala tetumbuhan dari bumi yang menjadi sumber penghasilan mereka dan menjadi sumber pakan hewan ternak mereka. Dalam tanah yang subur terdapat mata pencaharian, dalam keberlimpahan terdapat rezeki, tanpa perlu merasakan kesusahan dan keletihan, tanpa perlu bekerja keras dan tanpa mengalami kepayahan. Meski demikian, mereka tidak beriman dan tidak bertakwa.

“… Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.’ (Qs. Al-A’raf: 96)

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut, yang disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah membuat mereka merasakan sebagian (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).’ (Q.s. Ar-Rum:41).”

Selain penjelasan tersebut, Syekh As-Sa’di juga menyebutkan tafsir untuk beberapa penggalan dari surat Al-A’raf, ayat 96—99,

• “Tidakkah penduduk negeri itu beriman“;

yang dimaksud (“penduduk negeri” dalam ayat tersebut) adalah ‘ para pendusta’, berdasarkan indikasi rangkaian kata (setelahnya) “akan datangnya siksa dari Kami“, yaitu ‘azab yang pedih’;

• “Di malam hari, saat mereka sedang tidur“

yaitu ‘saat mereka lengah, terpedaya, dan sedang beristirahat’;

• “Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain?”

maksudnya ‘apa gerangan hal yang membuat mereka merasa aman, padahal mereka telah melakukan berbagai faktor penyebab yang bisa mendatangkan bencana itu; mereka telah melakukan dosa-dosa yang sangat buruk, sehingga bagaimana mungkin mereka tidak diganjar dengan kebinasaan setelahnya?’;

• “Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)?”

maksudnya ‘ketika mereka dilenakan dari arah yang tidak mereka duga, dan Allah menyiksa mereka; sesungguhnya, tipu daya Allah begitu kuat’;

• “Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi”,

maksudnya ‘maka sesungguhnya, orang yang merasa aman dari makar Allah adalah orang yang tidak membenarkan adanya balasan atas amalan yang telah dikerjakan. Dia juga tidak beriman dengan penuh kesungguhan kepada para rasul. Ayat yang mula ini menakut-nakuti secara umum, agar hendaknya para hamba tidak merasa aman dengan keimanan yang dimilikinya.

Akan tetapi, mereka senantiasa takut dan khawatir jika dirinya didera ujian yang dapat memberangus imannya. Juga, hendaklah dia senantiasa berdoa dengan mengatakan, ‘Wahai Dzat yang membolak-balik hati, tetapkanlah hatiku di atas agamamu,’ serta hendaknya dia beramal dan berusaha dengan menempuh setiap sebab yang memungkinkan dirinya terbebas dari keburukan ketika datangnya fitnah (ujian). Oleh karena itu, seorang hamba –walau dia telah sampai pada kondisi (keimanan)-nya saat ini– tak ada kepastian bahwa dia akan selamat.

Apa itu “makar Allah”?

Syekh Khalil Harras, dalam Syarh Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah, hlm. 265, menguraikan,

“Sebagian salaf menafsirkan ‘makar Allah kepada hamba-Nya’ dengan arti ‘melenakan mereka (istidraj) dengan berbagai nikmat sedangkan mereka tidak mengetahui (bahwa ada azab yang menanti mereka, pen.)’. Setiap kali mereka berbuat dosa, Allah melimpahkan nikmat bagi mereka.

Dalam hadis disebutkan,

“Jika engkau melihat Allah memberi kepada hamba-Nya nikmat dunia yang dicintai jiwanya, padahal dia senantiasa bermaksiat, maka ketahuilah bahwa itu merupakan istidraj.’

(Hr. Ahmad, Ibnu Juraij, Ath-Thabrani, dan Ibnu Abi Hatim; diriwayatkan dari shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu; hadis hasan; lihat Kanzul ‘Ammal, juz 11, hlm. 90; kutip dari muslimah.or.id).”

Wasiat Rasuulullaah untuk menjauhi dosa besar dan tidak meremehkan dosa-dosa kecil

Rasuulullaah shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

“Jauhilah kalian tujuh dosa besar; syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan harta anak yatim, memakan harta riba, lari dari medan perang, menuduh berzina terhadap wanita yang suci.” (Muttafaqun alaih)

Rasuulullaah shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

“Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang dosa-dosa besar yang paling besar?” (Beliau mengulanginya tiga kali.)

Mereka (para Sahabat) menjawab: “Tentu saja, wahai Ra-sulullah.”

Beliau bersabda: “Syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua.”

(perawi berkata) -Ketika itu beliau bersandar lalu beliau duduk tegak seraya bersabda:-

“Dan ingatlah, (yang ketiga) perkataan dusta!”

Perawi berkata: “Beliau terus meng-ulanginya hingga kami berharap beliau diam.”

(HR Bukhaariy, Muslim dan selainnya)

Dan hadits-hadits semisalnya.

Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam:

“Sesungguhnya orang mukmin melihat dosa-dosanya seperti ia duduk di pangkal gunung, ia khawatir gunung itu akan menimpanya, sedangkan orang fajir (selalu berbuat dosa) melihat dosa-dosanya seperti lalat yang menempel di batang hidungnya, kemudian ia mengusirnya seperti ini* lalu terbang.”

*Abu Syihab (salah satu perawi hadits) mengisyaratkan dengan tangannya di atas hidungnya.

(HR. Bukhariy)

Ibnu Abi Jamrah rahimahullâh berkata,

“Sebabnya adalah, karena hati seorang Mukmin itu diberi cahaya. Apabila dia melihat pada dirinya ada sesuatu yang menyelisihi hatinya yang diberi cahaya, maka hal itu menjadi berat baginya. Hikmah perumpamaan dengan gunung yaitu apabila musibah yang menimpa manusia itu selain runtuhnya gunung, maka masih ada kemungkinan mereka selamat dari musibah-musibah itu. Lain halnya dengan gunung, jika gunung runtuh dan menimpa seseorang, umumnya dia tidak akan selamat. Kesimpulannya bahwa rasa takut seorang Mukmin (kepada siksa Allâh Ta’ala -pen) itu mendominasinya, karena kekuatan imannya menyebabkan dia tidak merasa aman dari hukuman itu. Inilah keadaan seorang Mukmin, dia selalu takut (kepada siksa Allâh-pen) dan bermurâqabah (mengawasi Allâh). Dia menganggap kecil amal shalihnya dan khawatir terhadap amal buruknya yang kecil”.

(Tuhfatul Ahwadzi, no. 2497; kutip dari majalah as-sunnah)

Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda kepada Ummul Mukminin ‘Aa-isyah radhiyallåhu ‘anha:

“Wahai Aisyah, takutlah engkau terhadap dosa-dosa kecil, karena ia akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah.”

(HR. Ahmad, ad-Darimiy, dll; dishahiihkan Syaikh al Albaaniy dalam ash shahiihah)

Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda

“Berhati-hatilah kalian terhadap dosa kecil, sebab jika ia berkumpul dalam diri seseorang akan dapat membinasakannya.”

(HR ahmad dan Thabrani dalam Al Awsath; dalam sanad kedua riwayat ini ada Imran bin Dawir Al Qaththan; namun dia dapat dipercaya, demikian kata Imam Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid 10/192)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Aku benar-benar melihat diantara umatku pada hari Kiamat nanti, ada yang datang dengan membawa kebaikan sebesar gunung di Tihamah yang putih, lalu Allah menjadikannya seperti kapas berterbangan…

Tsauban bertanya, Ya Rasulullah, jelaskan kepada kami siapa mereka itu agar kami tidak seperti mereka sementara kami tidak mengetahui!

Beliau bersabda,

Mereka adalah saudara-saudara kalian dan sebangsa dengan kalian, mereka juga bangun malam seperti kalian, akan tetapi apabila mendapat kesempatan untuk berbuat dosa, mereka melakukannya.

(HR. Ibnu Majah, disahihkan oleh Syaikh Al-Bany dalam Silsilatul Ahaadits Shahihah No,505)

Teladan para shahabat yang senantiasa merasa takut akan adzabNya

Ibnu Mulaikah rahimahullahu berkata: “Aku mendapati tiga puluh orang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya mengkhawatirkan kemunafikan atas dirinya.”

Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu sampai bertanya kepada Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, apakah dirinya termasuk yang disebut oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang munafik.

Suatu ketika shahabat Anas Radhiallaahu ‘anhu pernah berkata kepada sebagian tabi’in: “Sesungguhnya kalian semua melakukan suatu perbuatan yang kalian pandang lebih kecil dari pada biji gandum padahal di masa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam kami menganggapnya sebagai sesuatu yang dapat membinasakan. “ (Al Bukhari).

Berkata al Hasan al Bashriy: “Demi Allah ‘Azza wa Jalla, sungguh! Andai saja salah seorang dari kalian mendapati salah seorang dari generasi pertama umat ini sebagaimana yang telah aku dapati, serta melihat salah seorang dari Salafus Shalih sebagaimana yang telah aku lihat, niscaya di pagi hari dia dalam keadaan bersedih hati dan pada sore harinya dalam keadaan berduka. Dia pasti mengetahui bahwa orang yang bersungguh-sungguh dari kalangan kalian hanya serupa dengan orang yang bermain-main di antara mereka. Dan seseorang yang rajin dari kalangan kalian hanya serupa dengan orang yang suka meninggalkan di antara mereka.”

Di sini bukan berarti Anas mengatakan bahwa dosa besar dimasa Rasulullah dihitung sebagai dosa kecil setelah beliau wafat, namun itu semata-mata karena pengetahuan para shahabat akan keagungan Allah yang lebih sempurna. Makanya dosa kecil bagi mereka-jika sudah dikaitkan dengan kebesaran Allah- akan menjadi sangat besar. Dan dengan sebab ini pula maka suatu dosa akan dipandang lebih besar jika dilakukan orang alim dibandingkan jika pelakunya orang jahil, bahkan bagi orang awam boleh jadi suatu dosa dibiarkan begitu saja (dimaklumi) karena ketidaktahuannya yang mana itu tentu tidak berlaku bagi orang alim dan arif. Atau dengan kata lain bahwa besar kecilnya suatu dosa sangat berkaitan erat dengan tingkat pengetahuan dan keilmuan pelakunya

(ithaf as-sa’adah al-muttaqin 10/690).

Tapi meski bagaimanapun seseorang seharusnya dituntut untuk menganggap besar suatu dosa, sebab jika tidak demikian maka tidak akan lahir rasa penyesalan. Adapun jika menganggap besar atas suatu dosa maka ketika melakukannya akan disertai dengan rasa sesal. Ibarat orang yang menganggap uang receh tak bernilai, maka ketika kehilangan ia tak akan bersedih dan menyesalinya. Namun ketika yang hilang adalah dinar (koin emas) maka tentu ia akan sangat menyesal dan kehilangannya merupakan masalah yang besar.

(Sumber: Al-’Ibadat Al-Qalbiyah, Dr. Muhammad bin Hasan bin Uqail Musa Asy-Syarif, http://ibnujafar86.wordpress.com/2009/05/12/jangan-sepelekan-dosa-kecil/)

Sebagian ulama menyatakan: “Tidak ada yang takut dari kemunafikan kecuali mukmin, dan tidak ada yang merasa aman darinya kecuali munafik.” (dibawakan oleh Al-Bukhari rahimahullahu dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu)

Al-Imam Ahmad rahimahullahu ditanya, “Apa pendapatmu tentang orang yang mengkhawatirkan atas dirinya kemunafikan?” Beliau menjawab, “Siapa yang merasa dirinya aman dari kemunafikan?” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam)

Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: “Sebagian orang mengira kemunafikan hanyalah ada di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, tidak ada kemunafikan setelah zaman beliau. Ini adalah prasangka yang salah. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Kemunafikan pada zaman ini lebih dahsyat dari kemunafikan di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Mereka berkata: ‘Bagaimana (bisa dikatakan demikian)?’ Beliau menjawab: ‘Orang-orang munafik di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan kemunafikan mereka. Adapun sekarang, mereka (berani) menampakkan kemunafikan mereka’.”

Ibnu Rajab rahimahullahu berkata: “Kemunafikan asghar adalah jalan menuju kemunafikan akbar, sebagaimana maksiat adalah lorong menuju kekufuran. Sebagaimana orang yang terus-menerus di atas maksiat dikhawatirkan dicabut keimanannya ketika menjelang mati, demikian juga orang yang terus-menerus di atas kemunafikan asghar dikhawatirkan dicabut darinya keimanan dan menjadi munafik tulen.” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam)

Pelajaran (Hikmah Yang Dapat Diambil)

1. Termasuk dosa besar: merasa aman dari adzab Allah

2. Barangsiapa yang terus menerus dalam kemaksiatan kepada Allah, sementara ia berada dalam hidup yang enak; maka ini adalah tanda istidraaj Allah padanya.

3. Dosa besar, adalah sesuatu yang membinasakan pelakunya (khususnya syirik akbar dan kufur akbar) yang hendaknya dijauhi oleh setiap hamba dengan sejauh-jauhnya, dengan menjauhi pula sebab-sebab yang menghantarkan kita kepadanya.

4. Larangan meremehkan dosa-dosa kecil.

5. Dosa kecil apabila terkumpul dalam diri seorang hamba akan membinasakannya.

6. Seorang yang LURUS KEIMANANnya tidaklah melihat besar-kecilnya dosa, tapi ia melihat pada siapakah yang ia sedang durhakai.

7. Takutnya seorang mukmin terhadap dosa-dosa seharusnya sebagaimana takutnya ia tertimpa gunung.

8. Hendaknya seseorang mengingat akan dahsyatnya SAKRATUL MAWT, dahsyatnya FITNAH KUBUR, dahsyatnya hisab di PADANG MASYHAR, dahsyatnya ketika MELINTASI SHIRATH, dan dahsyatnya API NERAKA.

9. Peremehan dosa akan berakibat DIHAPUSNYA AMAL KEBAIKAN, meskipun kebaikannya seperti sebesar GUNUNG. Hal ini menandakan BETAPA AGUNG-nya Allah, yang mana Dia Cemburu terhadap hambaNya yang melakukan kedurhakaan terhadapNya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, yaitu ketika Sa’d bin Ubadah berkata,

“Kalaulah kulihat seorang laki-laki bersama isteriku, niscaya aku penggal dia dengan pedang di bagian mata pedangnya, bukan dengan pinggirnya.”

Berita ini kemudian terdengar oleh Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam, sehingga beliau bersabda:

“Adakah kalian merasa heran dengan kecemburuan Sa’d? Demi Allah, sungguh aku lebih cemburu daripada dia, dan Allah lebih cemburu daripada aku.

dan karena kecemburuan Allah itulah Allah mengharamkan segala kejahatan baik yang nampak maupun yang tersembunyi

(HR Bukhariy)

Dalam riwayat lain:

“Tidak ada yang lebih cemburu melebihi Allah. Karena itulah, Dia mengharamkan kekejian…”

(HR Bukhariy)

10. Teladan para shahabat yang AMAT DALAM ILMU-nya tentang Allah subhaanahu wa ta’ala.

11. Keutamaan para shahabat diatas tabi’iin

12. Kemunafikan (i’tiqadiy, maupun ‘amaliy) akan senantiasa ada hingga akhir zaman.

13. Salah satu tanda keimanan yang ada dalam hati adalah merasa takut dari adzab Allah, dan salah satu tanda merasuknya kemunafiqan dalam hati adalah ketika kita merasa aman dari adzab Allah.

14. Jika seseorang terlalu menggantungkan pada luasnya rahmat Allah, ampunan Allah yang berlimpah, dan melupakan bahwa Allah Maha Mengetahui lagi Maha pedih adzabNya, maka ia akan bermudah-mudahan (dalam berbuat maksiat). Ia akan merasa aman dari makar (istidraj dan adzab) Allah, dan barangsiapa yang jatuh kepada “merasa aman dari adzabNya”, maka ia akan menganggap remeh perbuatan dosa, sehingga jatuhlah ia kedalamnya.

15. Seseorang dapat terjatuh dalam “merasa aman dari adzab Allah”, ketika ia merasa takjub/UJUB dengan amal-amalnya, ia merasa telah banyak beramal shalih (padahal apa yang ia lakukan tersebut BELUM TENTU diterima Allah), atau ia merasa telah mengamalkan amalan penghapus dosa, sehingga ia merasa telah diampuni dosanya oleh Allah (padahal dia sendiri tidak bisa menjamin, apakah Allah telah mengampuninya atau tidak?!).

Sehingga ketika ia merasa telah beramal shalih, merasa telah suci dari dosa-dosa; maka kemudian bathinnya berkata: “ah.. nggak apa-apa sekali ini bermaksiat”

Yaa subhaanallaah!! Tidakkah ia tahu ORANG BERILMU adalah orang-orang YANG TAKUT KEPADA ALLAH?! Tidakkah ia sadar dengan anggapannya tersebut menunjukkan KEBODOHAN yang ada dalam dirinya?! Tidakkah ia tahu akan hadits diatas yang mana Allah menghapus kebaikan SESEORANG yang SANGAT BANYAK hanya karena ia senantiasa bermaksiat ketika mendapatkan kesempatan!? Tidakkah ia menyadari bisa saja Allah mencabut nyawanya ketika ia sedang bermaksiat kepadaNya?! Apakah ia menjamin kelak akan diberi kehidupan? Jika ia tidak bisa menjamin, mengapa ia menyengajakan untuk bermaksiat?! inilah bukti LEMAH-nya IIMAAN seseorang, dikarenakan LALAI-nya HATInya dari mengingat Allah, LALAI-nya hatinya dari mengingat kematian yang bisa datang kapan saja, LALAI-nya HATInya dari mengingat apa-apa yang akan terjadi setelah kematian!!

dari ‘Ibnu ‘Umar bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata dalam do’anya,

“Ya Allah, anugerahkan kepada kami rasa takut kepada-Mu yang membatasi antara kami dengan perbuatan maksiat kepadamu dan berikanlah (taufiq kepada kami, agar dapat melaksanakan) ketaatan kepada-Mu, yang dapat mengantarkan kami ke surga-Mu dan anugerahkan pula keyakinan (akan balasanMu di akhirat kelak) sehingga akan menyebabkan ringan bagi kami segala musibah di dunia ini.”

[HR. Tirmidzi (3502); An Nasaai dalam 'Amalul Yaum wal Lailah (402); Al Hakim (1/528); Al Baghawi (1374). Dihasankan At Tirmidzi dan al Albaaniy; dari muslim.or.id].

Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita untuk senantiasa mengingatNya, dengan tidak meremehkan dosa-dosa (apalagi dosa besar), dan juga agar tidak bermudah-mudahan dalam perkara makruuh. Aaamiin

Semoga bermanfaat..
Mari ikut #share artikel berikut, agar banyak yang dapat mengambil pelajaran dari ilmu yang sangat bermanfaat ini..
Amiiinn..

0 komentar:

Template by : buitenzorg skataduakata.blogspot.com