Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... Muharram 1405 H, …”
Kenalkan, ini Rahma, baru tiga hari di sini,” ucap ibu pemilik rumah kost yang akan kutempati.
Senyum manis dan tatap mata yang ramah menghiasi wajahmu. Jilbab putih
yang kau pakai semakin menambah keanggunan si pemilik wajah yang memang
cantik.
“Wilfa…, panggil saja Ifa,” kataku sambil mengulurkan tangan.Engkau menyambut
dan menggenggam tanganku erat. “Rahma….,” katamu lembut. “Mudah-mudahan
Ifa betah tinggal di sini,” katamu lagi. “Mudah-mudahan,” jawabku.
Itulah awal perkenalanku denganmu, mahasiswi baru asal Jogyakarta. Kita
menempati satu kamar di rumah Bu Santi, pemiliknya. Sikapmu yang ramah
dan terbuka membuat kita cepat akrab, sehingga teman-teman menyebut kita
“Dua Sejoli,” di mana ada aku di situ ada kamu. Sejak OPSPEK sampai
hari-hari pertama kuliah kita lalui bersama.
Susah senang kita
tanggung bersama. Maka tak heran bila hari-hari selanjutnya merupakan
hari-hari yang menyenangkan bagi kita, karena masing-masing kita sudah
seperti saudara satu sama lain walaupun tempat asal kita berbeda, engkau
dari Jogya, sedang aku dari Bandung.
Muharram 1406 H, …
“Subhanallah……., kau kelihatan lebih anggun dengan pakaian itu,” ucapmu
kagum. Aku tersipu-sipu malu. Kuperhatikan diriku di kaca dengan busana
muslimah plus jilbab yang kupinjam darimu. Ya, aku berniat memakainya
besok pada perayaan Tahun Baru Islam 1 Muharram di kampus kita.
Ketika menjelang tidur, fikiranku melayang pada kejadian tadi siang.
Aku merasa, pantulan bayangan di cermin itu bukanlah diriku. Kulihat
sosok anggun yang memancarkan cahaya iman di balik busana. Timbul hasrat
di hatiku untuk bisa seperti bayangan itu.
Tapi…akh, tidak !
Diriku masih kotor, pengetahuanku tentang Islam masih dangkal,
kelakuanku masih jauh dari apa yang digariskan Islam. Aku masih suka
hura-hura dan melakukan segala apa yang aku inginkan.
Terbayang olehku orang tua dan saudara-saudaraku di Bandung. Mereka,
terutama Bapakku sangat mengharapkan agar aku cepat menamatkan kuliahku
dan bekerja di perusahaan besar tempat di mana Bapakku memegang jabatan
penting. Bapakku ingin agar aku seperti anak-anak dari teman-teman
relasinya yang saling berlomba-lomba mencapai kepuasan materi.
“Ada yang kaufikirkan, Fa?” pertanyaanmu mengejutkanku. “Boleh aku tahu
?” tanyamu lagi. Aku menghela nafasku, dan berkata,”Rahma….,sudah
setahun kita bersama. Belajar…, berdiskusi…, bercanda…, seakan-akan kita
tak berbeda.”
Aku diam sejenak, kemudian menghela nafas lagi.
“Apa maksudmu, Fa ?” tanyamu sambil menatapku heran. “Yach…,walaupun
teman-teman tidak pernah membedakan kita, tapi hati kecilku tak dapat
menyangkal. Ku akui, kita tidak sama. Ma…, masing-masing kita sudah
saling tahu, siapa kau dan siapa aku. Tapi sampai sejauh itu kau tak
pernah menyinggung tentang perbedaan kita. Kau tak pernah menyinggung
tentang pakaian dan penampilanku,”
kataku hati-hati. Engkau
memandangku lekat-lekat seakan ingin berusaha mengetahui isi hatiku.
“Boleh kutanya sesuatu padamu ?” tanyaku. Engkau mengangguk. “Ma…, aku
ingin tahu bagaimana perasaanmu ketika pertama kali kau kenakan busana
muslimahmu itu,” kataku.
Kulihat kau tersentak. Lama kau
pandangi aku, kemudian berkata,”Sebelum kujawab pertanyaanmu, secara
jujur kukatakan bahwa sebenarnya telah lama aku menanti pertanyaan
seperti itu darimu. Dan baru sekarang kau menanyakannya, tanpa aku harus
memancingmu, karena memang itulah yang aku harapkan.
Fa…,ketika pertama kali kukenakan busana muslimah ini, berbagai perasaan
ada di hatiku, sedih, terharu, takut, dan perasaan tentram campur jadi
satu. Sedih, karena orang tuaku tak suka melihatku berjilbab. ‘Terlalu
fanatik’, itu kata mereka.
Terharu, karena pertama kali dengan
busana muslimah ini kuinjakkan kakiku di SMA, teman-temanku juga
kakak-kakak kelasku yang sudah berjilbab menyambutku dengan haru dan
memberi selamat kepadaku. Tapi rasa takut ketika itu masih menghantuiku
kalau kuingat cerita kakak-kakakku tentang sulitnya mencari pekerjaan
bagi si pemakai jilbab. Tapi…, lepas dari itu semua, ketentraman merasuk
di hatiku.
Aku merasa diriku selalu berada dalam tatapan-Nya.
Barulah saat itu kusadari, itulah kebahagiaan yang kucari selama ini.
Yah…, kebahagiaan yang haqiqi. Akhirnya cobaan-cobaan kuhadapi dengan
tabah, karena aku yakin Allah senantiasa akan menolong hamba-Nya yang
sungguh-sungguh melaksanakan syari’at-Nya,” katamu dengan mata
berkaca-kaca.
Entah mengapa, sejak itu aku mulai tertarik pada
buku-buku Islam terutama buku-buku tentang wanita, aku mulai rajin
mengikuti ta’lim di sela-sela kesibukan kuliah dan praktikumku. Diriku
mulai terbiasa dengan rok dan kemeja lengan panjang. Dan dalam lemariku
sudah tersedia tiga buah jilbab yang senantiasa kupakai ta’lim. Hari
demi hari kita semakin dekat. Engkau sering mengajakku berdiskusi
tentang Islam dan hal-hal yang pada mulanya masih terasa asing bagiku.
Akhirnya hasrat yang terpendam di hatiku selama ini mencapai klimaksnya.
Suatu malam kukatakan maksudku untuk berbusana muslimah kepadamu.
Sambil berlinang air mata engkau memelukku dan berkata :”Ifa…, aku
bahagia atas keputusanmu, kita kita sudah betul-betul sama, tidak ada
lagi perbedaan di antara kita. Semoga engkau mendapat berkah-Nya dan
semoga Dia senantiasa memberikan kekuatan kepada kita untuk tetap
berpegang pada syari’at-Nya.” Akhirnya malam yang penuh haru itu kita
isi dengan Qiyamul lail untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya.
Muharram 1408 H …
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Kemarin kita telah menjalani
wisuda. Semua mahasiswa rantauan termasuk kita bersiap-siap pulang ke
kampung masing-masing. “Selamat tinggal, kota hujan. Kota penuh
kenangan. Kota tempat kami menyatukan hati dan fikiran. Kota tempat kami
menuai benih-benih iman di hati.” Itulah kata-kata terakhir dalam
hatiku ketika mulai menaikkan kaki ke dalam bis yang akan membawaku ke
Bandung.
Kesedihan melanda hatiku ketika dalam perjalanan
fikiranku melayang, teringat kata-katamu terakhir kali saat kau
mengantarku ke terminal. “Aku harap, kau bisa datang ke walimahan kami
di Jogya nanti,” ucapmu sedih campur bahagia. Aku pun turut bahagia
karena tak lama lagi engkau akan mendapat pendamping seorang ikhwan di
kota kelahiranmu.
“InsyaAllah, aku datang,” ucapku bergetar
menahan haru dan sedih. Waktu itu kita berjanji untuk saling berkirim
kabar lewat surat. Hanya seraut wajah yang berlinang air mata dan
lambaian tangan yang kulihat lewat jendela kaca bis yang mulai bergerak.
“Selamat tinggal, Rahma…” ucapku dalam hati.
Kesedihanku belum
reda ketika kulalui hari-hari pertamaku di Bandung, kota kelahiranku.
Tak terasa sebulan berlalu, rasa rindu ingin bertemu denganmu mulai
kutuangkan lewat surat pertamaku ke Jogya. Kutulis juga permintaan
maafku kepadamu atas ketidakhadiranku pada acara walimahanmu. Walau saat
itu ingin rasanya aku ke sana, tapi…musibah telah menimpa Bapakku dalam
perjalanan tugasnya ke Menado.
Pesawat yang dinaikinya jatuh
dan beliau dipanggil ke hadirat-Nya. Dua minggu kemudian, suratmu
datang. Dalam suratmu kau mengatakan ikut merasakan kesedihanku dan
berharap agar aku tabah menghadapi musibah itu. Dari isi surat yang
kautulis, aku menangkap sinyal-sinyal kebahagiaan di balik goresanmu,
ceritamu tentang Bang Hanif, suamimu yang kaubilang kelewat sabar, dan
sebuah kabar gembira karena kalian sedang menunggu datangnya si buah
hati.
Muharram 1410 H, …
Dua tahun berlalu tanpa
terasa. Kesibukan-kesibukanku sebagai guru sebuah TK Islam menyita
hampir seluruh waktuku. Walau begitu kusempatkan diriku untuk membalas
surat-suratmu. Tapi anehnya, surat terakhir yang kukirimkan dua bulan
yang lalu, sampai saat ini belum kau balas. Barangkali kau sibuk dengan
Aisyah kecilmu yang sudah berlari ke sana ke mari, mengajarkannya
mengaji, bernasyid, oh…alangkah bahagianya engkau.
Aku melihat
diriku sendiri, seperempat abad sudah usiaku dan sampai kini masih
tetap sendiri. Tapi aku yakin, suatu saat nanti Allah akan memberikan
aku seorang pendamping yang akan memberiku buah hati seperti yang kau
miliki. Aku tetap sabar menunggu balasan darimu.
Suatu sore di
hari Ahad, seorang perempuan setengah tua datang ke rumahku. “Ini rumah
Ibu Wilfa ?” tanyanya. “Ya, benar….saya sendiri Wilfa,” jawabku.
Kupersilahkan wanita itu masuk dan duduk. Sambil mempersiapkan minuman,
tak henti-hentinya aku berfikir mengingat-ingat wajah wanita itu, wajah
yang seakan-akan memendam duka teramat dalam.”Rasa-rasanya aku pernah
melihatnya, tapi…di mana ya….?” fikirku. Kupersilahkan dia minum, lalu
kutanyakan maksud kedatangannya mencariku. Setelah dia memperkenalkan
diri, barulah aku ingat bahwa dia adalah ibumu dari Jogya.
Engkau pernah menunjukkan foto beliau kepadaku dulu waktu kita masih
kuliah. Sewaktu kutanyakan kepadanya tentang keadaanmu, wajah yang sendu
itu kelihatan bertambah sedih bahkan butiran-butiran air mata mulai
membasahi pipinya yang sudah mulai keriput.
Di sela-sela isak
tangisnya, dia mengatakan bahwa engkau telah dipanggil ke hadirat-Nya
seminggu yang lalu. Yah….leukimia yang sejak SMA kau derita telah
memisahkanmu dari mereka yang mencintaimu. Aku terhenyak mendengar ini
semua, seakan tak percaya. “Rahmah, kenapa kau tak pernah bercerita
padaku tentang penyakitmu,” kataku terisak.
Wanita itu
mengatakan bahwa engkau tak pernah menceritakan penyakit yang kau derita
itu pada siapapun termasuk aku dan suamimu. Ingatanku melayang,
teringat pada saat-saat terakhir bersamamu di terminal. Rupanya itulah
saat terakhir aku melihatmu. Engkau telah menghadap-Nya, mudah-mudahan
engkau bahagia di alam sana.
Sebelum wanita itu pulang, beliau
menyerahkan sepucuk surat yang kautulis sebelum engkau pergi, dan dia
berharap, agar aku dapat memenuhi permintaan terakhir di surat itu.
Kubuka surat itu, dan kubaca :
“Ukhti Wilfa, maafkan bila surat
terakhirmu belum sempat kubalas. Aku sudah merasa Dia akan memanggilku.
Leukimia yang telah lama bersemayan di tubuhku akan segera memisahkanku
dari mereka yang kucintai dan mencintaiku. Maafkan bila selama ini aku
bersalah atau berdosa kepadamu. Aku berharap engkau bisa memenuhi
permintaan terakhirku. Tolong jaga Bang Hanif dan Aisyahku.
Kupercayakan mereka kepadamu. Aku sudah mengatakan masalah ini pada Bang
Hanif, dan dia berjanji akan berusaha memenuhi permintaanku. Aku
mengharap ketulusan hatimu, ukhti. Didiklah Aisyah bagaikan anak ukhti
sendiri.”
Wassalamu
Rahma
Air mataku mengalir bertambah deras. Aku hanya berdoa mudah-mudahan aku dapat melaksanakan pesanmu dengan baik.
“Aisyah…., tolong temani dik Azzam sebentar. Umi mau buatkan susu dulu,” kataku sambil berlari ke dapur.
Kesibukanku mendidik Aisyah dan Azzam bertambah kalau Bang Hanif tidak
di rumah. Beliau sedang menghadiri peringatan tahun baru Islam 1
Muharram di masjid dekat rumah kami. Entah mengapa, setiap datang bulan
Muharram, aku teringat kembali kepadamu, Rahma. Alhamdulillah…aku bisa
memenuhi pesan terakhirmu, dua tahun yang lalu.
Ceritanya
begini : Sebulah setelah Dia memanggilmu, seorang ikhwan beserta gadis
kecil berjilbab putih menemui paman dan ibuku untuk melamarku.
Walaupun aku belum pernah melihat Bang Hanif dan Aisyahmu, tapi
perasaanku mengatakan itulah mereka. Setelah kuceritakan isi surat itu
kepada paman, akhirnya kami pun menikah sebulan kemudian.
Alhamdulillah….sekarang kami telah memiliki dua buah hati yaitu Aisyah
kita dan Azzam, buah hati kami.
Ukhti….,telah kupenuhi pesanmu.
InsyaAllah, akan kudidik mereka agar menjadi mujahid dan mujahidah yang
nantinya akan membela Islam seperti apa yang kita harapkan .. Aamiin
yaa Robbal’aalamiin.
~ o ~
Salam santun dan keep istiqomah ...