Tuesday 11 December 2012

Kenapa Harus Berdo’a ?


Berdo’a, yang secara etimologis berarti "meminta kepada Allah", mempunyai tujuan-tujuan yang bukan saja bersifat ke-Ilahi-an, melainkan juga bersifat duniawi. Hal ini disebabkan karena do’a bukanlah untuk kepentingan Allah melainkan untuk kepentingan manusia itu sendiri. Kalaupun kita berdo’a untuk memohon segala "sesuatu yang kita butuhkan", "yang kita inginkan" ataupun hanya "untuk menenangkan diri dari segala kesusahan", namun do’a mempunyai beberapa faidah yang tak terhingga.

Syekh Sayyid Tantawi, syaikhul Azhar di Mesir, merangkum manfaat do’a itu dalam tiga poin:

Pertama: do’a berfungsi untuk menunjukkan keagungan Allah kepada hamba-hambaNya yang lemah. Dengan do’a seorang hamba menyadari bahwa hanya Allah yang memberinya nikmat, menerima taubat, yang memperkenankan do’a-do’anya. Allah berfirman:

“…atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati-Nya”
[QS. An Naml : 62]

Tak ada satupun anugerah yang bisa diberikan kecuali oleh Allah yang Maha Pemberi, yang membuka pintu harapan bagi hamba-hambaNya yang berdosa sehingga sang hamba tidak dihadapkan pada keputusasaan. Bukankah Allah berjanji akan selalu mengabulkan do’a hamba-hambaNya?

"Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu". [QS Ghafir: 60]

Janji Allah untuk mengabulkan do’a kita merupakan tahrid (motivasi) untuk bersegera berbuat baik, dan tarbiyah (mendidik) agar kita mengakui dan merasakan nikmat Allah sehingga jiwa kita semakin terdorong untuk selalu bersyukur. Sebab rasa syukur itu pula yang mendorongnya untuk bersungguh-sungguh dalam beribadah.

Manfaat kedua yaitu, do’a mengajari kita agar merasa malu kepada Allah. Sebab manakala ia tahu bahwa Allah akan mengabulkan do’a-do’anya, maka tentu saja ia malu untuk mengingkari nikmat-nikmatNya.

Bahkan manakala manusia sudah berada dalam puncak keimanan yang kuat sekalipun, maka ia akan lebih dekat lagi (taqarrub) untuk mensyukuri nikmat-Nya. Hal ini dicontohkan oleh nabi Sulaiman as. ketika berdo’a: "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi." [QS. An Naml: 35].

Maka Allah pun mengabulkannya. Nabi Sulaiman bertanya kepada semua makhluk siapa yang mampu memindahkan singgasana Balqis ke hadapannya. Salah satu ifrit yang tunduk atas perintah nabi Sulaiman berkata: "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya".

Ternyata benar, ifrit dari golongan jin itu datang membawa singgasana Balqis dari Saba (Yaman) ke Syria tidak kurang dari kedipan mata. Menyaksikan nikmat yang ada di "hadapannya", nabi Sulaiman lantas berkata: "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barang siapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia".

Kisah ini terdapat dalam al-Qur’an, surat An-Naml ayat 38-44

Manfaat yang ketiga adalah mengalihkan hiruk-pikuk kehidupan dunia ke pangkuan tafakur dan kesucian munajat ke hadirat Allah, memutuskan syahwat duniawi yang fana menuju ketenangan hati dan ketentraman jiwa.

Semoga bermanfaat.

0 komentar:

Template by : buitenzorg skataduakata.blogspot.com