Monday, 31 December 2012

"KU PENUHI PESANMU, RAHMA"


Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... Muharram 1405 H, …”
Kenalkan, ini Rahma, baru tiga hari di sini,” ucap ibu pemilik rumah kost yang akan kutempati.

Senyum manis dan tatap mata yang ramah menghiasi wajahmu. Jilbab putih yang kau pakai semakin menambah keanggunan si pemilik wajah yang memang cantik.

“Wilfa…, panggil saja Ifa,” kataku sambil mengulurkan tangan.Engkau menyambut dan menggenggam tanganku erat. “Rahma….,” katamu lembut. “Mudah-mudahan Ifa betah tinggal di sini,” katamu lagi. “Mudah-mudahan,” jawabku.

Itulah awal perkenalanku denganmu, mahasiswi baru asal Jogyakarta. Kita menempati satu kamar di rumah Bu Santi, pemiliknya. Sikapmu yang ramah dan terbuka membuat kita cepat akrab, sehingga teman-teman menyebut kita “Dua Sejoli,” di mana ada aku di situ ada kamu. Sejak OPSPEK sampai hari-hari pertama kuliah kita lalui bersama.

Susah senang kita tanggung bersama. Maka tak heran bila hari-hari selanjutnya merupakan hari-hari yang menyenangkan bagi kita, karena masing-masing kita sudah seperti saudara satu sama lain walaupun tempat asal kita berbeda, engkau dari Jogya, sedang aku dari Bandung.

Muharram 1406 H, …

“Subhanallah……., kau kelihatan lebih anggun dengan pakaian itu,” ucapmu kagum. Aku tersipu-sipu malu. Kuperhatikan diriku di kaca dengan busana muslimah plus jilbab yang kupinjam darimu. Ya, aku berniat memakainya besok pada perayaan Tahun Baru Islam 1 Muharram di kampus kita.

Ketika menjelang tidur, fikiranku melayang pada kejadian tadi siang. Aku merasa, pantulan bayangan di cermin itu bukanlah diriku. Kulihat sosok anggun yang memancarkan cahaya iman di balik busana. Timbul hasrat di hatiku untuk bisa seperti bayangan itu.

Tapi…akh, tidak ! Diriku masih kotor, pengetahuanku tentang Islam masih dangkal, kelakuanku masih jauh dari apa yang digariskan Islam. Aku masih suka hura-hura dan melakukan segala apa yang aku inginkan.

Terbayang olehku orang tua dan saudara-saudaraku di Bandung. Mereka, terutama Bapakku sangat mengharapkan agar aku cepat menamatkan kuliahku dan bekerja di perusahaan besar tempat di mana Bapakku memegang jabatan penting. Bapakku ingin agar aku seperti anak-anak dari teman-teman relasinya yang saling berlomba-lomba mencapai kepuasan materi.

“Ada yang kaufikirkan, Fa?” pertanyaanmu mengejutkanku. “Boleh aku tahu ?” tanyamu lagi. Aku menghela nafasku, dan berkata,”Rahma….,sudah setahun kita bersama. Belajar…, berdiskusi…, bercanda…, seakan-akan kita tak berbeda.”

Aku diam sejenak, kemudian menghela nafas lagi. “Apa maksudmu, Fa ?” tanyamu sambil menatapku heran. “Yach…,walaupun teman-teman tidak pernah membedakan kita, tapi hati kecilku tak dapat menyangkal. Ku akui, kita tidak sama. Ma…, masing-masing kita sudah saling tahu, siapa kau dan siapa aku. Tapi sampai sejauh itu kau tak pernah menyinggung tentang perbedaan kita. Kau tak pernah menyinggung tentang pakaian dan penampilanku,”

kataku hati-hati. Engkau memandangku lekat-lekat seakan ingin berusaha mengetahui isi hatiku. “Boleh kutanya sesuatu padamu ?” tanyaku. Engkau mengangguk. “Ma…, aku ingin tahu bagaimana perasaanmu ketika pertama kali kau kenakan busana muslimahmu itu,” kataku.

Kulihat kau tersentak. Lama kau pandangi aku, kemudian berkata,”Sebelum kujawab pertanyaanmu, secara jujur kukatakan bahwa sebenarnya telah lama aku menanti pertanyaan seperti itu darimu. Dan baru sekarang kau menanyakannya, tanpa aku harus memancingmu, karena memang itulah yang aku harapkan.

Fa…,ketika pertama kali kukenakan busana muslimah ini, berbagai perasaan ada di hatiku, sedih, terharu, takut, dan perasaan tentram campur jadi satu. Sedih, karena orang tuaku tak suka melihatku berjilbab. ‘Terlalu fanatik’, itu kata mereka.

Terharu, karena pertama kali dengan busana muslimah ini kuinjakkan kakiku di SMA, teman-temanku juga kakak-kakak kelasku yang sudah berjilbab menyambutku dengan haru dan memberi selamat kepadaku. Tapi rasa takut ketika itu masih menghantuiku kalau kuingat cerita kakak-kakakku tentang sulitnya mencari pekerjaan bagi si pemakai jilbab. Tapi…, lepas dari itu semua, ketentraman merasuk di hatiku.

Aku merasa diriku selalu berada dalam tatapan-Nya. Barulah saat itu kusadari, itulah kebahagiaan yang kucari selama ini. Yah…, kebahagiaan yang haqiqi. Akhirnya cobaan-cobaan kuhadapi dengan tabah, karena aku yakin Allah senantiasa akan menolong hamba-Nya yang sungguh-sungguh melaksanakan syari’at-Nya,” katamu dengan mata berkaca-kaca.

Entah mengapa, sejak itu aku mulai tertarik pada buku-buku Islam terutama buku-buku tentang wanita, aku mulai rajin mengikuti ta’lim di sela-sela kesibukan kuliah dan praktikumku. Diriku mulai terbiasa dengan rok dan kemeja lengan panjang. Dan dalam lemariku sudah tersedia tiga buah jilbab yang senantiasa kupakai ta’lim. Hari demi hari kita semakin dekat. Engkau sering mengajakku berdiskusi tentang Islam dan hal-hal yang pada mulanya masih terasa asing bagiku. Akhirnya hasrat yang terpendam di hatiku selama ini mencapai klimaksnya.

Suatu malam kukatakan maksudku untuk berbusana muslimah kepadamu. Sambil berlinang air mata engkau memelukku dan berkata :”Ifa…, aku bahagia atas keputusanmu, kita kita sudah betul-betul sama, tidak ada lagi perbedaan di antara kita. Semoga engkau mendapat berkah-Nya dan semoga Dia senantiasa memberikan kekuatan kepada kita untuk tetap berpegang pada syari’at-Nya.” Akhirnya malam yang penuh haru itu kita isi dengan Qiyamul lail untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya.

Muharram 1408 H …

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Kemarin kita telah menjalani wisuda. Semua mahasiswa rantauan termasuk kita bersiap-siap pulang ke kampung masing-masing. “Selamat tinggal, kota hujan. Kota penuh kenangan. Kota tempat kami menyatukan hati dan fikiran. Kota tempat kami menuai benih-benih iman di hati.” Itulah kata-kata terakhir dalam hatiku ketika mulai menaikkan kaki ke dalam bis yang akan membawaku ke Bandung.

Kesedihan melanda hatiku ketika dalam perjalanan fikiranku melayang, teringat kata-katamu terakhir kali saat kau mengantarku ke terminal. “Aku harap, kau bisa datang ke walimahan kami di Jogya nanti,” ucapmu sedih campur bahagia. Aku pun turut bahagia karena tak lama lagi engkau akan mendapat pendamping seorang ikhwan di kota kelahiranmu.

“InsyaAllah, aku datang,” ucapku bergetar menahan haru dan sedih. Waktu itu kita berjanji untuk saling berkirim kabar lewat surat. Hanya seraut wajah yang berlinang air mata dan lambaian tangan yang kulihat lewat jendela kaca bis yang mulai bergerak. “Selamat tinggal, Rahma…” ucapku dalam hati.

Kesedihanku belum reda ketika kulalui hari-hari pertamaku di Bandung, kota kelahiranku. Tak terasa sebulan berlalu, rasa rindu ingin bertemu denganmu mulai kutuangkan lewat surat pertamaku ke Jogya. Kutulis juga permintaan maafku kepadamu atas ketidakhadiranku pada acara walimahanmu. Walau saat itu ingin rasanya aku ke sana, tapi…musibah telah menimpa Bapakku dalam perjalanan tugasnya ke Menado.

Pesawat yang dinaikinya jatuh dan beliau dipanggil ke hadirat-Nya. Dua minggu kemudian, suratmu datang. Dalam suratmu kau mengatakan ikut merasakan kesedihanku dan berharap agar aku tabah menghadapi musibah itu. Dari isi surat yang kautulis, aku menangkap sinyal-sinyal kebahagiaan di balik goresanmu, ceritamu tentang Bang Hanif, suamimu yang kaubilang kelewat sabar, dan sebuah kabar gembira karena kalian sedang menunggu datangnya si buah hati.

Muharram 1410 H, …

Dua tahun berlalu tanpa terasa. Kesibukan-kesibukanku sebagai guru sebuah TK Islam menyita hampir seluruh waktuku. Walau begitu kusempatkan diriku untuk membalas surat-suratmu. Tapi anehnya, surat terakhir yang kukirimkan dua bulan yang lalu, sampai saat ini belum kau balas. Barangkali kau sibuk dengan Aisyah kecilmu yang sudah berlari ke sana ke mari, mengajarkannya mengaji, bernasyid, oh…alangkah bahagianya engkau.

Aku melihat diriku sendiri, seperempat abad sudah usiaku dan sampai kini masih tetap sendiri. Tapi aku yakin, suatu saat nanti Allah akan memberikan aku seorang pendamping yang akan memberiku buah hati seperti yang kau miliki. Aku tetap sabar menunggu balasan darimu.

Suatu sore di hari Ahad, seorang perempuan setengah tua datang ke rumahku. “Ini rumah Ibu Wilfa ?” tanyanya. “Ya, benar….saya sendiri Wilfa,” jawabku. Kupersilahkan wanita itu masuk dan duduk. Sambil mempersiapkan minuman, tak henti-hentinya aku berfikir mengingat-ingat wajah wanita itu, wajah yang seakan-akan memendam duka teramat dalam.”Rasa-rasanya aku pernah melihatnya, tapi…di mana ya….?” fikirku. Kupersilahkan dia minum, lalu kutanyakan maksud kedatangannya mencariku. Setelah dia memperkenalkan diri, barulah aku ingat bahwa dia adalah ibumu dari Jogya.

Engkau pernah menunjukkan foto beliau kepadaku dulu waktu kita masih kuliah. Sewaktu kutanyakan kepadanya tentang keadaanmu, wajah yang sendu itu kelihatan bertambah sedih bahkan butiran-butiran air mata mulai membasahi pipinya yang sudah mulai keriput.

Di sela-sela isak tangisnya, dia mengatakan bahwa engkau telah dipanggil ke hadirat-Nya seminggu yang lalu. Yah….leukimia yang sejak SMA kau derita telah memisahkanmu dari mereka yang mencintaimu. Aku terhenyak mendengar ini semua, seakan tak percaya. “Rahmah, kenapa kau tak pernah bercerita padaku tentang penyakitmu,” kataku terisak.

Wanita itu mengatakan bahwa engkau tak pernah menceritakan penyakit yang kau derita itu pada siapapun termasuk aku dan suamimu. Ingatanku melayang, teringat pada saat-saat terakhir bersamamu di terminal. Rupanya itulah saat terakhir aku melihatmu. Engkau telah menghadap-Nya, mudah-mudahan engkau bahagia di alam sana.

Sebelum wanita itu pulang, beliau menyerahkan sepucuk surat yang kautulis sebelum engkau pergi, dan dia berharap, agar aku dapat memenuhi permintaan terakhir di surat itu. Kubuka surat itu, dan kubaca :

“Ukhti Wilfa, maafkan bila surat terakhirmu belum sempat kubalas. Aku sudah merasa Dia akan memanggilku. Leukimia yang telah lama bersemayan di tubuhku akan segera memisahkanku dari mereka yang kucintai dan mencintaiku. Maafkan bila selama ini aku bersalah atau berdosa kepadamu. Aku berharap engkau bisa memenuhi permintaan terakhirku. Tolong jaga Bang Hanif dan Aisyahku.

Kupercayakan mereka kepadamu. Aku sudah mengatakan masalah ini pada Bang Hanif, dan dia berjanji akan berusaha memenuhi permintaanku. Aku mengharap ketulusan hatimu, ukhti. Didiklah Aisyah bagaikan anak ukhti sendiri.”

Wassalamu
Rahma

Air mataku mengalir bertambah deras. Aku hanya berdoa mudah-mudahan aku dapat melaksanakan pesanmu dengan baik.

“Aisyah…., tolong temani dik Azzam sebentar. Umi mau buatkan susu dulu,” kataku sambil berlari ke dapur.

Kesibukanku mendidik Aisyah dan Azzam bertambah kalau Bang Hanif tidak di rumah. Beliau sedang menghadiri peringatan tahun baru Islam 1 Muharram di masjid dekat rumah kami. Entah mengapa, setiap datang bulan Muharram, aku teringat kembali kepadamu, Rahma. Alhamdulillah…aku bisa memenuhi pesan terakhirmu, dua tahun yang lalu.

Ceritanya begini : Sebulah setelah Dia memanggilmu, seorang ikhwan beserta gadis kecil berjilbab putih menemui paman dan ibuku untuk melamarku.

Walaupun aku belum pernah melihat Bang Hanif dan Aisyahmu, tapi perasaanku mengatakan itulah mereka. Setelah kuceritakan isi surat itu kepada paman, akhirnya kami pun menikah sebulan kemudian. Alhamdulillah….sekarang kami telah memiliki dua buah hati yaitu Aisyah kita dan Azzam, buah hati kami.

Ukhti….,telah kupenuhi pesanmu. InsyaAllah, akan kudidik mereka agar menjadi mujahid dan mujahidah yang nantinya akan membela Islam seperti apa yang kita harapkan .. Aamiin yaa Robbal’aalamiin.

~ o ~

Salam santun dan keep istiqomah ...

0 komentar:

Template by : buitenzorg skataduakata.blogspot.com