Ketidakjujuran tampaknya sudah mewabah pada hampir semua aspek kehidupan bangsa.
Di mana-mana, kita menyaksikan orang berbohong di DPR, pengadilan, pasar, kantor, kampus, bahkan di tempat ibadah pun ada yang berani berdusta untuk menutupi perilaku amoralnya. Kebohongan menjadi benteng pembelaan diri. Bohong menjadi “barang dagangan yang diobral”. Padahal, tali kebohongan it
Di mana-mana, kita menyaksikan orang berbohong di DPR, pengadilan, pasar, kantor, kampus, bahkan di tempat ibadah pun ada yang berani berdusta untuk menutupi perilaku amoralnya. Kebohongan menjadi benteng pembelaan diri. Bohong menjadi “barang dagangan yang diobral”. Padahal, tali kebohongan it
u pendek. Sebuah
ungkapan bijak menyatakan bahwa semua tali itu panjang, kecuali tali
kebohongan. Satu kebohongan akan dibarengi dengan aneka kebohongan
lainnya.
Karena itu, ketika didatangi seseorang yang meminta nasihat, Rasulullah SAW berkata singkat kepadanya, “Jangan berbohong” (HR Muslim).
Kalimat singkat, tetapi bernas ini mengandung nilai edukasi yang tinggi, yaitu pendidikan kejujuran. Mendidik manusia supaya berperilaku jujur merupakan esensi pendidikan, sedangkan esensi pendidikan kejujuran adalah keteladanan yang baik dan benar.
Orang yang berbohong itu sejatinya merugi. Jika kebohongannya tidak diketahui, dia akan mendapatkan dosa. Dan, jika kebohongannya diketahui orang lain, dia tidak akan dipercaya lagi. Implikasinya, hubungan dirinya dengan sesama menjadi kurang baik karena sudah dicap sebagai pembohong atau munafik. Orang lain tidak akan bersimpati dan menjauhi, bahkan memusuhinya.
Orang yang jujur, secara psikologis hatinya akan selalu merasa tenteram, damai, dan bahagia. Sebaliknya, orang yang biasa berdusta, hidupnya menjadi tidak tenang, dikejar-kejar oleh “pemberontakan” hati kecilnya yang selalu menyuarakan kebenaran. Dia selalu merasa khawatir kebohongannya itu terbongkar.
Kebiasaan tidak jujur itu sangat berbahaya, tidak hanya bagi orang lain, tetapi juga bagi dirinya sendiri. Kepercayaan dan kewibawaannya akan hilang. “Dalam hati mereka (orang-orang munafik) itu ada penyakit, lalu ditambah oleh Allah penyakitnya, dan bagi mereka siksa yang pedih disebabkan mereka berdusta.” (QS al-Baqarah [2]:10).
Pendidikan kejujuran harus dimulai dengan jujur kepada diri sendiri dengan senantiasa meminta “fatwa kebenaran” yang bersumber dari hati nurani. “Istafti qalbaka” (minta fatwalah kepada hatimu). Setelah itu, hendaklah kamu selalu benar. Sesungguhnya kebenaran membawa kepada kebajikan dan kebajikan membawa ke surga.” (HR Bukhari).
Pendidikan kejujuran dapat terwujud manakala ia selalu belajar menjalani kehidupan ini dengan lima hal, yaitu iman, ikhlas, ihsan, ilmu, dan istiqamah. Dengan iman, ia yakin Allah pasti mengawasi dan mencatat seluruh amal perbuatannya. Dengan ikhlas, ia dididik untuk melakukan sesuatu dengan mengharapkan rida Allah. Dengan ihsan, ia akan berbuat yang terbaik untuk orang lain. Dengan ilmu, ia tahu perbuatan halal dan haram. Dan, dengan istiqamah, ia belajar mengawal kebaikan dan kebenaran yang sudah dibiasakannya menjadi lebih baik dan lebih diridai Allah SWT.
“Tiga golongan manusia yang pada hari kiamat kelak tidak akan dipandang oleh Allah dengan rahmat-Nya, bahkan mereka itu akan memperoleh siksaan yang menyakitkan, yaitu orang tua yang berbuat zina, penguasa yang berdusta, dan orang melarat yang sombong.” (HR Muslim).
Karena itu, ketika didatangi seseorang yang meminta nasihat, Rasulullah SAW berkata singkat kepadanya, “Jangan berbohong” (HR Muslim).
Kalimat singkat, tetapi bernas ini mengandung nilai edukasi yang tinggi, yaitu pendidikan kejujuran. Mendidik manusia supaya berperilaku jujur merupakan esensi pendidikan, sedangkan esensi pendidikan kejujuran adalah keteladanan yang baik dan benar.
Orang yang berbohong itu sejatinya merugi. Jika kebohongannya tidak diketahui, dia akan mendapatkan dosa. Dan, jika kebohongannya diketahui orang lain, dia tidak akan dipercaya lagi. Implikasinya, hubungan dirinya dengan sesama menjadi kurang baik karena sudah dicap sebagai pembohong atau munafik. Orang lain tidak akan bersimpati dan menjauhi, bahkan memusuhinya.
Orang yang jujur, secara psikologis hatinya akan selalu merasa tenteram, damai, dan bahagia. Sebaliknya, orang yang biasa berdusta, hidupnya menjadi tidak tenang, dikejar-kejar oleh “pemberontakan” hati kecilnya yang selalu menyuarakan kebenaran. Dia selalu merasa khawatir kebohongannya itu terbongkar.
Kebiasaan tidak jujur itu sangat berbahaya, tidak hanya bagi orang lain, tetapi juga bagi dirinya sendiri. Kepercayaan dan kewibawaannya akan hilang. “Dalam hati mereka (orang-orang munafik) itu ada penyakit, lalu ditambah oleh Allah penyakitnya, dan bagi mereka siksa yang pedih disebabkan mereka berdusta.” (QS al-Baqarah [2]:10).
Pendidikan kejujuran harus dimulai dengan jujur kepada diri sendiri dengan senantiasa meminta “fatwa kebenaran” yang bersumber dari hati nurani. “Istafti qalbaka” (minta fatwalah kepada hatimu). Setelah itu, hendaklah kamu selalu benar. Sesungguhnya kebenaran membawa kepada kebajikan dan kebajikan membawa ke surga.” (HR Bukhari).
Pendidikan kejujuran dapat terwujud manakala ia selalu belajar menjalani kehidupan ini dengan lima hal, yaitu iman, ikhlas, ihsan, ilmu, dan istiqamah. Dengan iman, ia yakin Allah pasti mengawasi dan mencatat seluruh amal perbuatannya. Dengan ikhlas, ia dididik untuk melakukan sesuatu dengan mengharapkan rida Allah. Dengan ihsan, ia akan berbuat yang terbaik untuk orang lain. Dengan ilmu, ia tahu perbuatan halal dan haram. Dan, dengan istiqamah, ia belajar mengawal kebaikan dan kebenaran yang sudah dibiasakannya menjadi lebih baik dan lebih diridai Allah SWT.
“Tiga golongan manusia yang pada hari kiamat kelak tidak akan dipandang oleh Allah dengan rahmat-Nya, bahkan mereka itu akan memperoleh siksaan yang menyakitkan, yaitu orang tua yang berbuat zina, penguasa yang berdusta, dan orang melarat yang sombong.” (HR Muslim).
0 komentar:
Post a Comment